Cara Memberikan Pelayanan Pendidikan Disabilitas Grahita di Sekolah Inklusi


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
      Tunagrahita ialah istilah yang digunakan untuk anak yang memiliki perkembangan intelegensi yang terlambat. Setiap klasifikasi selalu diukur dengan tingkat IQ mereka, yang terbagi menjadi tiga kelas yakni tunagrahita ringan, tunagrahita sedang dan tunagrahita berat.
      Anak  disabilitas grahita   membutuhkan  layanan pendidikan yang khusus. Kurikulum  dan strategi pembelajaran yang  umum  mungkin  tidak  efektif bagi mereka,  karena  kapasitas intelektualnya tidak  memadai untuk itu.  Program  pendidikan bagi  mereka  harus diatur  atau  disesuaikan dengan kondisi anak,  sehingga dapat  memberi  hasil yang optimal. Perlu ada modifikasi berkaitan dengan kurikulum, proses belajar, evaluasi maupun lingkungan pendidikan. Inilah yang disebut dengan pendidikan khusus. UU No. 20/2003   pasal 5  ayat  2 secara khusus menyebutkan bahwa  warga negara yang mempunyai kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.
      Dalam makalah ini, penulis akan menjelaskan tentang “Cara memberikan pelayanan pendidikan disabilitas grahita di sekolah inklusi” agar nantinya sebagai guru mampu melayani pendidikan anak tunagrahita yang kemungkinan ikut belajar bersama dengan anak normal di kelas. Di samping itu, akan menambah wawasan sebagai guru
yang menjadi lebih luas sehingga dapat melakukan pengamatan secara lebih cermat mengenai perbedaan individual murid baik dalam proses maupun hasil belajar yang ditampilkan oleh peserta didik.

B.     Rumusan Masalah
      Berdasarkan latar belakang di atas, masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah bagaimana cara memberikan pelayanan pendidikan disabilitas grahita di sekolah inklusi.

C.    Tujuan Penulisan
Sejalan dengan rumusan masalah di atas, tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menjelaskan cara memberikan pelayanan pendidikan disabilitas grahita di sekolah inklusi.




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Definisi Pendidikan Anak Tunagrahita
        Disabilitas grahita termasuk dalam golongan anak berkebutuhan khsusus (ABK). Pendidikan secara khusus untuk penyandang disabilitas grahuta lebih dikenal dengan sebutan SLB. Disabilitas grahita adalah individu yang memiliki intelegensi yang signifikan berada di bawah rata-rata dan disertai dengan ketidakmampuan dalam adaptasi perilaku yang muncul dalam masa perkembangan. (Mudjito, dkk, 2012:27).
        Dalam  Bahasa  asing  (Inggris)  dikenal  dengan  istilah  mental  retardation, mental deficiency, mentally handicapped, feebleminded, mental subnormality. Istilah  lain  yang  banyak  digunakan  adalah intellectually handicapped dan intellectually disabled. (Amin,  1995:20). 
        Dalam definisi disabilitas grahita, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai berikut:
a.       Fungsi  intelektual  umum  secara  signifikan  berada  di  bawah  rata-rata, maksudnya  bahwa  kekurangan  itu  harus  benar-benar  meyakinkan sehingga  yang  bersangkutan  memerlukan  layanan  pendidikan  khusus. Sebagai  contoh,  anak  normal  rata-rata mempunyai  IQ  (Intelligence Quotient) 100, sedangkan anak disabilitas grahita memiliki IQ paling tinggi 70.
b.      Kekurangan  dalam  tingkah  laku  penyesuaian  (perilaku  adaptif), maksudnya  bahwa  yang  bersangkutan  tidak/kurang  memiliki kesanggupan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang sesuai dengan usianya.  Ia  hanya  mampu  melakukan  pekerjaan  seperti  yang  dapat dilakukan oleh anak yang usianya lebih muda darinya.
c.       Disabilitas grahita berlangsung pada periode perkembangan, maksudnya adalah seseorang mengalami disabilitas grahita itu  terjadi  pada  usia  perkembangan,  yaitu  sejak konsepsi hingga usia 18 tahun.
        Berdasarkan  uraian di  atas  jelaslah  bahwa  untuk  dikategorikan  sebagai penyandang  disabilitas grahita,  seseorang  harus  memiliki  ketiga  ciri-ciri  tersebut. Apabila seseorang hanya memiliki salah satu dari ciri -ciri tersebut maka yang bersangkutan  belum  dapat  dikategorikan  sebagai  penyandang  disabilitas grahita.

B.     Tujuan Pendidikan Anak Tunagrahita
      Pada dasarnya tujuan pendidikan yang hendak dicapai oleh tunagrahita tidak berbeda dengan tujuan pendidikan pada umumnya, sebab anak tunagrahita itu sendiri lahir di tengah-tengah masyarakat. Namun tujuan itu bukanlah tujuan yang eksklusif karena diperlukan penyesuaian tertentu dengan tingkatan kemampuan mereka. Tujuan yang terletak di luar jangkauan kemampuan anak tunagrahita tidak perlu dipaksakan harus dikuasai oleh anak tunagrahita. Sebaliknya tujuan yang bagi anak normal merupakan hal yang biasa dan tidak perlu mendapat perhatian khusus, dalam pendidikan anak tunagrahita mungkin perlu mendapat penekanan khusus, misalnya dirumuskan lebih terperinci.
      Jelaslah bahwa karena kelainannya, anak tunagrahita mengalami kesukaran dalam mencoba menghampiri tujuan pendidikan nasional. Untuk itu diperlukan usaha merumuskan tujuan khusus pendidikan anak tunagrahita. Tujuan pendidikan anak tunagrahita, seperti yang diungkapkan oleh Kirk (1986) adalah:
1.      Dapat mengembangkan potensi dengan sebaik-baiknya.
2.      Dapat menolong diri, berdiri sendiri dan berguna bagi masyarakat.
3.      Memiliki kehidupan lahir batin yang layak.
Tujuan itu perlu diperinci lagi mengingat berat dan ringannya ketunagrahitaan. Tujuan pendidikan anak tunagrahita ringan akan sulit dicapai oleh anak tunagrahita sedang, lebih-lebih bagi anak tunagrahita berat dan sangat berat. Tujuan pendidikan anak tunagrahita dikemukakan oleh Suhaeri HN (1980) sebagai berikut:
1.      Tujuan pendidikan anak tunagrahita ringan adalah:
a.       Agar dapat mengurus dan membina diri.
b.      Agar dapat bergaul di masyarakat.
c.       Agar dapat mengerjakan sesuatu untuk bekal hidupnya.
2.      Tujuan pendidikan anak tunagrahita sedang adalah:
a.       Agar dapat mengurus diri, seperti makan minum, berpakaian, dan kebersihan badan.
b.      Agar dapat bergaul dengan anggota keluarga dan tetangga.
c.       Agar dapat mengerjakan sesuatu secara rutin dan sederhana.
3.      Tujuan pendidikan anak tunagrahita berat dan sangat berat adalah:
a.       Agar dapat mengurus diri secara sederhana (memberi tanda atau katakata apabila menginginkan sesuatu, seperti makan).
b.      Agar dapat melakukan kesibukan yang bermanfaat (misalnya mengisi kotak-kotak dengan paku).
c.       Agar dapat bergembira (seperti berlatih mendengarkan nyanyian, menonton TV, menatap mata orang yang berbicara dengannya)

C.    Pelayanan bagi Anak Tunagrahita
Anak tunagrahita meskipun mengalami hambatan intelektual, dapat mengaktualisasikan potensinya asalkan mereka diberi kesempatan untuk mengikuti pendidikan dengan pelayanan khusus. Melalui pelayanan ini mereka akan mampu melaksanakan tugasnya sehingga dapat memiliki rasa percaya diri dan harga diri. Hal yang paling penting dalam pendidikan anak tunagrahita adalah memunculkan harga diri sehingga mereka tidak menarik diri dan masyarakat tidak mengisolasi anak tunagrahita karena mereka terbukti mampu melakukan sesuatu. Pada akhirnya anak tunagrahita mendapat tempat di hati masyarakat, seperti anggota masyarakat umumnya.
Menurut Nasrun (1994:46), untuk mencapai harapan tersebut diperlukan pelayanan yang memiliki ciri-ciri khusus dan prinsip khusus, sebagai berikut:


1.      Ciri-ciri khusus
a.       Bahasa yang digunakan
Bahasa yang digunakan dalam berinteraksi dengan anak tunagrahita adalah bahasa sederhana, tidak berbelit, jelas, dan gunakan kata-kata yang sering didengar oleh anak.
b.      Penempatan anak tunagrahita di kelas
Anak tunagrahita ditempatkan di bagian depan kelas dan berdekatan dengan anak yang kira-kira hampir sama kemampuannya. Apabila ia di kelas anak normal maka ia ditempatkan dekat anak yang dapat menimbulkan sikap keakraban.
c.       Ketersediaan program khusus
Di samping ada program umum yang diperkirakan semua anak di kelas itu dapat mempelajarinya perlu disediakan program khusus untuk anak tunagrahita yang kemungkinan mengalami kesulitan.
2.      Prinsip khusus
a.       Prinsip skala perkembangan mental.
Prinsip ini menekankan pada pemahaman guru mengenai usia kecerdasan anak tunagrahita. Dengan memahami usia ini guru dapat menentukan materi pelajaran yang sesuai dengan usia mental anak tunagrahita tersebut. Dengan demikian, anak tunagrahita dapat mempelajari materi yang diberikan guru. Melalui prinsip ini dapat diketahui perbedaan antar dan intraindividu. Sebagai contoh: A belajar berhitung tentang penjumlahan 1 sampai 5. Sementara B telah mempelajari penjumlahan 6 sampai 10. Ini menandakan adanya perbedaan antarindividu.
Contoh berikut adalah perbedaan intraindividu, yaitu C mengalami kemajuan berhitung penjumlahan sampai dengan 20. Tetapi dalam pelajaran membaca mengalami kesulitan dalam membedakan bentuk huruf.


b.      Prinsip kecekatan motorik.
Melalui prinsip ini anak tunagrahita dapat mempelajari sesuatu dengan melakukannya. Di samping itu, dapat melatih motorik anak terutama untuk gerakan yang kurang mereka kuasai.
c.       Prinsip keperagaan.
Prinsip ini digunakan dalam mengajar anak tunagrahita mengingat keterbatasan anak tunagrahita dalam berpikir abstrak. Oleh karena sangat penting, dalam mengajar anak tunagrahita dapat menggunakan alat peraga. Dengan alat peraga anak tunagrahita tidak verbalisme atau memiliki tanggapan mengenai apa yang dipelajarinya. Dalam menentukan alat peraga hendaknya tidak abstrak dan menonjolkan pokok materi yang diajarkan.
Contohnya, anak belajar membaca kata “bebek”, alat peraganya adalah tulisan kata bebek harus tebal sementara gambar bebek harus tipis. Maksudnya, gambar bebek hanyalah untuk membantu pengertian anak.
d.      Prinsip pengulangan.
Berhubung anak tunagrahita cepat lupa mengenai apa yang dipelajarinya maka dalam mengajar mereka membutuhkan pengulangan-pengulangan disertai contoh yang bervariasi. Oleh karena itu, dalam mengajar anak tunagrahita janganlah cepat-cepat maju atau pindah ke bahan berikutnya sebelum guru yakin betul bahwa anak telah memahami betul bahan yang dipelajarinya.
Contohnya, C belajar perkalian 2 (1x2, dan 2x2). Guru harus mengulang pelajaran itu sampai anak memahami betul arti perkalian. Barulah kemudian menambah kesulitan materi pelajaran, yakni 3x2, 4x2, dan seterusnya. Pengulangan-pengulangan seperti itu, sangat menguntungkan anak tunagrahita karena informasi itu akan sampai pada pusat penyimpanan memori dan bertahan dalam waktu yang lama.


e.       Prinsip korelasi.
Maksud prinsip ini adalah bahan pelajaran dalam bidang tertentu hendaknya berhubungan dengan bidang lainnya atau berkaitan langsung dengan kegiatan kehidupan sehari-hari anak tunagrahita.
f.       Prinsip maju berkelanjutan.
Anak tunagrahita menunjukkan keterlambatan dalam belajar dan perlu pengulangan, tetapi harus diberi kesempatan untuk mempelajari bahan berikutnya dengan melalui tahapan yang sederhana. Jadi, maksud prinsip ini adalah pelajaran diulangi dahulu dan apabila anak menunjukkan kemajuan, segera diberi bahan berikutnya.
Contohnya, menyebut nama-nama hari mulai Senin, Selasa, dan Rabu. Ulangi dahulu nama hari Senin, Selasa, Rabu, kemudian lanjutkan menyebut Kamis, Jumat Sabtu, Minggu.
g.      Prinsip individualisasi.
Prinsip ini menekankan perhatian pada perbedaan individual anak tunagrahita. Anak tunagrahita belajar sesuai dengan iramanya sendiri. Namun, ia harus berinteraksi dengan teman atau dengan lingkungannya. Jadi, ia tetap belajar bersama dalam satu ruangan dengan kedalaman dan keluasan materi yang berbeda. Contohnya, pada jam 8.00 murid kelas 3 SDLB belajar berhitung. Materi pelajaran anak-anak itu berbeda-beda sehingga terdiri dari 3 kelompok. Kelompok 1 harus ditunggui barulah ia akan belajar, sedangkan kelompok 2 cukup diberi penjelasan dan langsung mengerjakan tugasnya.

D.    Strategi dan Media untuk Melayani Anak Tunagrahita
Menurut Amin, (1995:75) strategi dan media untuk pelayanan anak tunagrhita yaitu sebagai berikut:
1.      Strategi untuk Melayani Anak Tunagrahita
Strategi pembelajaran dalam pendidikan anak tunagrahita pada prinsipnya tidak berbeda dengan pendidikan pada umumnya. Pada prinsipnya menentukan strategi pembelajaran harus memperhatikan tujuan pelajaran, karakteristik murid dan ketersediaan sumber (fasilitas). Strategi yang efektif pada anak tunagrahita belum tentu akan baik bagi anak normal dan anak berinteligensia tinggi.
Strategi pembelajaran anak tunagrahita ringan yang belajar di sekolah umum akan berbeda dengan strategi pembelajaran bagi mereka yang belajar di sekolah luar biasa. Strategi yang biasa digunakan dalam pembelajaran, seperti klasikal atau kelompok tidak dibahas dalam tulisan ini. Strategi yang dikemukakan di sini hanyalah strategi yang dapat digunakan dalam mengajar anak tunagrahita.
a.       Strategi pengajaran yang diindividualisasikan
Strategi pembelajaran yang diindividualisasikan berbeda maknanya dengan pengajaran individual. Pengajaran individual adalah pengajaran yang diberikan kepada seorang demi seorang dalam waktu tertentu dan ruang tertentu pula, sedangkan pengajaran yang diindividualisasikan diberikan kepada tiap murid meskipun mereka belajar bersama dengan bidang studi yang sama, tetapi kedalaman dan keluasan materi pelajaran disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan tiap anak. Strategi ini tidak menolak sistem klasikal atau kelompok. Strategi ini memelihara individualitas. Dalam pelaksanaannya guru perlu melakukan hal-hal berikut ini.
1)      Pengelompokan murid yang memungkinkan murid dapat berinteraksi, bekerja sama, dan bekerja selaku anggota kelompok dan tidak menjadi anggota tetap dalam kelompok tertentu. Kedudukan murid dalam kelompok sesuai dengan minat, dan kemampuan belajar yang hampir sama.
2)      Pengaturan lingkungan belajar yang memungkinkan murid melakukan kegiatan yang beraneka ragam, dapat berpindah tempat sesuai dengan kebutuhan murid tersebut, serta adanya keseimbangan antara bagian yang sunyi dan gaduh dalam pekerjaan di kelas. Adanya petunjuk tentang penggunaan tiap bagian, adanya pengaturan agar memudahkan bantuan dari orang yang dibutuhkan. Posisi tempat duduk (kursi & meja) dapat berubah-ubah, ukuran barang dan tata letaknya hendaknya dapat dijangkau oleh murid sehingga memungkinkan murid dapat mengatur sendiri kebutuhan belajarnya.
3)      Mengadakan pusat belajar (learning centre)
Pusat belajar ini dibentuk pada sudut-sudut ruangan kelas, misalnya sudut bahasa, sudut IPA, berhitung. Pembagian seperti ini, memungkinkan anak belajar sesuai dengan pilihannya sendiri. Di pusat belajar itu tersedia pelajaran yang akan dilakukan, tersedianya tujuan Pembelajaran Khusus sehingga mengarahkan kegiatan belajar yang lebih banyak bernuansa aplikasi, seperti mengisi, mengatur, menyusun, mengumpulkan, memisahkan, mengklasifikasi, menggunting, membuat bagan, menyetel, mendengarkan, mengobservasi. Selain itu, pada tiap pusat belajar tersedia bahan yang dapat dipilih dan digunakan oleh anak itu sendiri. Melalui strategi ini anak akan maju sesuai dengan irama belajarnya sendiri dengan tidak terlepas dari interaksi sosial.
b.      Strategi kooperatif
Strategi ini merupakan strategi yang paling efektif diterapkan pada kelompok murid yang memiliki kemampuan heterogen, misalnya dalam pendidikan yang mengintegrasikan anak tunagrahita belajar bersama dengan anak normal. Strategi ini relevan dengan kebutuhan anak tunagrahita di mana kecepatan belajarnya tertinggal dari anak normal. Strategi ini bertitik tolak pada semangat kerja di mana mereka yang lebih pandai dapat membantu temannya yang lemah (mengalami kesulitan) dalam suasana kekeluargaan dan keakraban.
Strategi kooperatif memiliki keunggulan, seperti meningkatkan sosialisasi antara anak tunagrahita dengan anak normal, menumbuhkan penghargaan dan sikap positif anak normal terhadap prestasi belajar anak tunagrahita sehingga memungkinkan harga diri anak tunagrahita meningkat, dan memberi kesempatan pada anak tunagrahita untuk mengembangkan potensinya seoptimal mungkin. Dalam pelaksanaannya guru harus memiliki kemampuan merumuskan tujuan pembelajaran, seperti untuk meningkatkan kemampuan akademik dan lebih-lebih untuk meningkatkan keterampilan bekerja-sama. Selain itu guru dituntut mempunyai keterampilan untuk mengatur tempat duduk, pengelompokan anak dan besarnya anggota kelompok.
Menurut Amin, (1995:82) mengemukakan bahwa guru harus mampu merancang bahan pelajaran dan peran tiap anak yang dapat menunjang terciptanya ketergantungan positif antara anak tunagrahita ringan dengan anak normal. Namun, perlu disadari bahwa pengalaman, kesungguhan, dan kecintaan guru terhadap profesinya merupakan modal utama yang ikut menentukan keberhasilan pembelajaran anak tunagrahita ringan dengan anak normal.
c.       Strategi modifikasi tingkah laku
Strategi ini digunakan apabila menghadapi anak tunagrahita sedang ke bawah atau anak tunagrahita dengan gangguan lain. Tujuan strategi ini adalah mengubah, menghilangkan atau mengurangi tingkah laku yang tidak baik ke tingkah laku yang baik. Dalam pelaksanaannya guru harus terampil memilih tingkah laku yang harus dihilangkan.
Sementara itu perlu pula teknik khusus dalam melaksanakan modifikasi tingkah laku tersebut, seperti reinforcement. Reinforcement ini merupakan hadiah untuk mendorong anak agar berperilaku baik. Reinforcement dapat berupa pujian, hadiah atau elusan. Pujian diberikan apabila siswa menunjukkan perilaku yang dikehendaki oleh guru. Dan pemberian reinforcement itu makin hari makin dikurangi agar tidak terjadi ketergantungan.
2.      Media untuk Melayani Anak Tunagrahita
        Media pembelajaran yang digunakan pada pendidikan anak tunagrahita tidak berbeda dengan media yang digunakan pada pendidikan anak biasa. Hanya saja pendidikan anak tunagrahita membutuhkan media seperti alat bantu belajar yang lebih banyak mengingat keterbatasan kecerdasan intelektualnya. Alat-alat khusus yang ada diantaranya adalah alat latihan kematangan motorik berupa form board, puzzle; latihan kematangan indra, seperti latihan perabaan, penciuman; alat latihan untuk mengurus diri sendiri, seperti latihan memasang kancing, memasang retsluiting; alat latihan konsentrasi, seperti papan keseimbangan, alat latihan membaca, berhitung, dan lain-lain. Dalam menciptakan media pendidikan anak tunagrahita, guru perlu memperhatikan beberapa ketentuan, antara lain:
a.       Bahan tidak berbahaya bagi anak, mudah diperoleh, dapat digunakan oleh anak.
b.      Warna tidak mencolok dan tidak abstrak.
c.       Ukurannya harus dapat digunakan atau diatur penggunaannya oleh anak itu sendiri (ukuran meja dan kursi).

E.     Model Layanan Bagi Anak Tunagrahita
Pendidikan luar biasa khususnya pendidikan anak tunagrahita bukanlah program pendidikan yang seluruhnya terpisah dan berbeda dari pendidikan umum. Pendidikan luar biasa yang termasuk pendidikan tunagrahita hanyalah menunjuk kepada aspek-aspek yang unik/tambahan, seperti hal-hal yang perlu dirujuk secara khusus karena kelainannya. Bobot macam layanan sesuai dengan berat dan ringannya kelainan. Makin ringan kelainan yang disandangnya maka makin sedikit layanan pendidikan luar biasa yang dibutuhkannya dan sebaliknya makin berat kelainannya makin banyak pula pelayanan pendidikan luar biasa yang dibutuhkannya.
Berdasarkan pandangan di atas maka jenis layanan untuk anak tunagrahita perlu mendapat perhatian sesuai dengan kebutuhan anak tersebut, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta orang tua dan masyarakat.
Pendidikan bagi anak tunagrahita secara umum terbagi dalam dua model atau pendekatan, yaitu model pendidikan yang segregatif dan mainstreaming (Abdurrahman dan Sudjadi, 1994).
1.      Model segregatif menghendaki anak-anak tunagrahita memperoleh layanan pendidikan di lembaga khusus yang terpisah dari anak–anak “normal”. Lembaga ini sering dikenal dengan sebutan Sekolah Luar Biasa (SLB).
2.      Pendekatan integrative (mainstreaming) menunjuk kepada suatu model penyelenggaraan pendidikan, di mana anak–anak tunagrahita sedapat mungkin memperoleh layanan pendidikan secara terintegrasi bersama anak-anak lainnya dalam lingkungan yang “normal”.
Gallagher (1986) memberikan uraian yang lebih rinci tentang berbagai model penyelenggaraan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus, termasuk anak tunagrahita, yaitu: 
1.      Pure Inclusion (inklusi penuh)
Pada model in siswa tunagrahita memperoleh layanan pendidikan dan pembelajaran di kelas-kelas reguler secara bersama-sama dengan anak-anak yang lain. Siswa-siswa tunagrahita mendapatkan layanan pendidikan yang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya. Kurikulum, materi, proses serta evaluasi pembelajaran benar-benar dirancang dan dijalankan sesuai dengan kondsi anak.
2.      Consultant Teacher (Guru Konsultan)
Pada model ini siswa tunagrahita belajar pada sekolah reguler terdekat dimana anak tinggal. Lebih dari 50% waktu belajar diberikan (dilakukan) oleh guru biasa pada sekolah setempat. Guru konsultan adalah guru khusus (guru SLB) yang berfungsi sebagai konsultan bagi guru-guru, kepala sekolah atau petugas lainnya yang ada di sekolah reguler. Pada program ini, guru konsultan mungkin menggunakan sebagaian kecil waktunya untuk melakukan proses belajar mengajar secara langsung dengan anak tunagrahita.
3.      Itinerant Teacher (Guru Keliling)
Program ini memiliki karakteristik yang hampir sama dengan program guru konsultas, yaitu murid-murid tunagrahita belajar pada sekolah-sekolah biasa terdekat. Yang membedakannya dengan guru konsultan adalah bahwa pada program guru keliling, guru khusus (guru SLB) menggunakan sebagaian besar waktunya untuk melakukan pengajaran langsung kepada anak-anak tunagrahita.
4.      Resource Room Program (Kelas Sumber Belajar)
Siswa tunagrahita terdaftar pada suatu sekolah biasa (umum), dimana terdapat di dalamnya suatu kelas khusus yang digunakan untuk melaksanakan pengajaran khusus bagi anak tunagrahita. Pengajaran di kelas sumber kurang lebih menggunakan separo dari keberadaan waktu belajar tunagrahita di sekolah. Keberadaan kelas sumber menjadi faktor pendukung yang penting dan strategis bagi pelaksanaan pengajaran yang diadakan di kelas regular,  khususnya untuk mengatasi kondisi dan kebutuhan khusus yang dialami siswa tunagrahita. Pengajaran di kelas khusus dilakukan oleh guru pembimbing khusus.
5.      Special Class (Kelas Khusus)
Siswa terdaftar dalam sebuah kelas khusus yang ada pada sekolah reguler. Pengajaran pada kelas ini biasanya relatif padat/penuh dan berlangsung sepanjang jam (jam sekolah). Program yang disajikan biasanya berkenaan dengan pengembanan materi atau keterampilan-keterampilan khusus yang dibutuhkan. Program ini memungkinkan anak tunagrahita untuk sewaktu-waktu ikut serta ke dalam kelas reguler pada bidang-bidang tertentu sesuai dengan kebutuhan dan minat.
6.      Special School (Sekolah Khusus)
Model ini berbentuk lembaga sekolah yang secara khusus diperuntukkan bagi anak tunagrahita. ini merupakan model penyelenggaraan pendidikan yang benar-benar terpisah dari program pendidikan umum (reguler). Model ini dikenal dengan istilah Sekolah Luar Biasa (SLB). Ada dua tipe dari model ini yaitu sistem harian (day school) dan sekolah berasrama (residensial school). Dalam model sekolah harian (day school), anak tunagrahita tinggal di rumah orang tuanya, mereka pergi dan pulang sekolah setiap hari, sedangkan dalam system residensial school anak-anak tinggal di asrama yang merupakan bagian terpadu dari sekolah.
Selain itu pelayanan pendidikan bagi anak tunagrahita atau retdasi mental dapat diberikan pada: ( Pudji, Asri. 2017.http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR. PEND._LUAR_BIASA/195103261979032 PUDJI_ASRI/Anak_Tunagrahita. pdf, 13 Desember 2017).
1.      Kelas Transisi
        Kelas ini diperuntukan bagi anak yang memerlukan layanankhusus termasuk anak tunagrahita. Kelas transisi sedapat mungkin berada disekolah reguler, sehingga pada saat tertentu anak dapat bersosialisasi dengan anak lain. Kelas transsi merupakan kelas persiapan dan pengenalan pengajaran dengan acuan kurikulum SD dengan modifikas sesuai kebutuhan anak.
2.      Sekolah Khusus (sekolah luar biasa bagian C dan C 1/SLB – C, C 1)
        Layanan pendidikan untuk anak tunagrahita omdel ini dibeikan pada sekolah luar biasa. Dalam satu kelas maksimal 10 anak dengan pembimbing atau pengajar guru khusus dan teman sekelas yang dianggap sama kemampuanya tunagrahita. Kegiatan belajar mengajar sepanjnag hari penuh di kelas khusu untuk anak tunagrahitaringan dapat bersekolah di SLB – C , sedangkan anak tunagrahita sedang dapat bersekolah di SLBC 1.
3.      Pendidikan Terpadu
        Layanan pendidikan pada model ini diselenggarakan di sekolah reguler. Anak tunagrahita belajar bersama-sama dengan anak reguler di kelas yang sama dengan bimbingan guru reguler. Untuk mata pelajaran tertentu, jika anak mempunyai kesulitan, anak tunagrahita akan mendapat bimbingan/remidial dari guru pembimbing khusus (GPK) dari SLB terdekat, pada ruangan khusus atau ruangan sumber. Biasanya anak yang belajar di sekolah terpadu adalah anak yang tergolong tunagrahita ringan. Yang termasuk ke dalam kategori borderline yang biasanya mempnyai kesulitan-kesulitan dalam belajar (learning difficulties) atau disebut dengan lamban belajar (slow learner).
4.      Program Sekolah di Rumah
        Program ini diperuntukan bagi anak tunagrahita yang tidak mampu mengikuti pendidikan di sekolah khusus karena keterbatasannya. Misalnya: sakit. Perorang dilaksanakan di rumah dengan cara mendatangkan guru PLB (GPK) terrapis. Hal ini dilaksanakan atas kerjasama antara orang tua, sekolah, masyrakat.
5.      Pendidikan Inklusif
        Sejalan dengan perkembangan layanan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus, terdapat kecenderungan baru yaitu model pendidikan insklusisi. Model ini menekankan pada keterpaduan penuh, menghilangkan labelisasi anak dengan prinsip education for all. Layanan pendidikan insklusif diselenggarakan pada sekolah reguler. Anak tunagrahita belajar bersama-sama dengan anak reuler, pada kelas dan guru atau pembimbing yanga sama.
        Pada kelas inklusif siswa dibimbing oleh 2 orang guru, satu guru reguler dan satu guru khusus. Guna guru khusus untuk memberikan bantuan kepada siswa tunagrahita jika anak tersebut mempunyai kesulitan di dalam kelas. Semua anak diberlakukan dan mempunyai hak dan kewajiban yang sama tapi,saat ini pelayanan pendidikan insklusi masi dalam tahap rintisan.
6.      Panti (griya) rehabilitasi
        Panti ini diperuntukan bagi anak tunagrahita pada tingkat berat, yang mempunyai kemampuan pada tingkat sangat rendah dan pada umumnya memiliki kelainan ganda seperti penglihatan,pendengaran tau motorik. Program di panti lebih terfokus pada perawatan. Pengembangan pada panti ini terbatas dalam hal :
a.       Pengenalan diri.
b.      Sensor motor dan persepsi.
c.       Motorik kasar dan ambulasi (pindah dari satu tempat ke tempat lain).
d.      Kemampuan berbahasa dan komunikasi.
e.       Bina diri dan kemampuan social.
F.     Evaluasi Belajar Bagi Anak Tunagrahita
Evaluasi belajar pada anak tunagrahita membutuhkan rumusan ketentuan-ketentuan mengingat berat dan ringannya ketunagrahitaan. Memang pada dasarnya tujuan evaluasi adalah sama dengan evaluasi pada pendidikan anak biasa, yakni untuk mengetahui kemampuan dan ketidakmampuan anak sehingga dapat menentukan tindakan selanjutnya.
Berikut ini akan dikemukakan ketentuan-ketentuan khusus dalam melaksanakan evaluasi belajar anak tunagrahita sebagai berikut:
1.      Waktu mengadakan evaluasi
Evaluasi belajar anak tunagrahita tidak saja dilakukan pada saat kegiatan belajar mengajar berakhir atau pada waktu yang telah ditetapkan,  seperti waktu tes prestasi belajar atau tes hasil belajar, tetapi tidak kalah pentingnya evaluasi selama proses belajar mengajar berlangsung. Pada saat itu dapat dilihat bagaimana reaksi anak, sikap anak, kecepatan atau kelambatan setiap anak.
Apabila ditemukan anak yang lebih cepat dari temannya maka ia segera diberi bahan pelajaran berikutnya tanpa harus menunggu teman-temanya,  sedangkan  anak yang lebih lambat, mendapatkan pengulangan atau penyederhanaan materi pelajaran.
2.      Alat evaluasi
Sama halnya dengan alat evaluasi yang digunakan pada pendidikan anak normal maka alat evaluasi yang digunakan untuk menilai hasil belajar anak tunagrahita tidak berbeda, kecuali dalam bentuk dan urutan penggunaannya. Penggunaan alat evaluasi,  seperti tulisan, lisan dan perbuatan bagi anak tunagrahita harus ditinjau lebih dahulu bagaimana keadaan anak tunagrahita yang akan dievaluasi.  Misalnya,  anak tunagrahita sedang tidak mungkin diberikan alat evaluasi tulisan. Mereka diberikan alat evaluasi perbuatan dan bagi anak tunagrahita ringan dapat diberikan alat evaluasi tulisan maupun lisan karena anak tunagrahita ringan masih memiliki kemampuan untuk menulis dan membaca serta berhitung walaupun tidak seperti anak normal pada umumnya. Kemudian, kata tanya yang digunakan adalah kata yang tidak menuntut uraian (bagaimana, mengapa), tetapi kata apa, siapa atau di mana.
3.      Kriteria keberhasilan
Keberhasilan belajar anak tunagrahita agar tidak dibandingkan dengan teman sekelasnya, tetapi dibandingkan dengan kemajuan yang dicapai oleh anak itu sendiri dari waktu ke waktu. Oleh karena itu,  penilaian pada anak tunagrahita adalah  longitudinal  maksudnya penilaian yang  mengacu pada perbandingan prestasi  individu atas dirinya sendiri yang dicapainya kemarin dan hari ini.
4.      Pencatatan hasil evaluasi
Pencatatan evaluasi yang telah kita kenal berbentuk kuantitatif, artinya kemampuan anak dinyatakan dengan angka. Tetapi  bentuk seperti ini,  bagi anak tunagrahita tidak cukup.  Jadi,  harus menggunakan bentuk kuantitatif ditambah dengan kualitatif.  Misalnya,  dalam pelajaran Berhitung, si Ano mendapat nilai angka 8. Sebaiknya diikuti dengan penjelasan, seperti nilai 8 berarti dapat mempelajari penjumlahan 1 sampai 5, pengurangan 1 sampai 3.

G.    Implikasi Pendidikan Bagi Anak Tunagrahita
Pendekatan yang dapat diberikan kepada anak tunagrahita adalah: ( Pudji, Asri.2017.http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/195103261979032-PUDJI_ASRI/Anak_Tunagrahita.pdf, 13 Desember 2017).
1.      Occuppasional Terapy (Terapi Gerak)
         Terapi ini diberikan kepada anak tunagrahita untuk melatih gerak fungsional anggota tubuh gerak kasar atau halus.
2.      Paly Terapy (Terapi Bermain)
         Terapi yang diberikan kepada anak tunagrahita dengan cara bermain, misalnya : memeberikan pelajaran tenang hitungan, anak diajarkan tentang tata cara sosial derama , bermain jual beli.


3.      Aktivity Daily Living (ADL) atau kemampuan merawat diri
        Untuk memandirikan anak tunagrahita, mereka haus diberian pengetahuan dan ketermpilan tenang kegiatan kehidupan sehati-hari (ADL) agar mereka dapat merawat diri sendir tanpa bantuan orang lain dan tidak tergantung kepada orang lain.
4.      Lives Kill
        Keterampilan hidup Anak yang memerlukan layanan khusus, terutama danak dengan IQ di bawah rata-rata biasanya tidak diharapkan bekerja sebagai administrator. Bagi anak tunagrahita yang memiliki IQ di bawah rata-rata , mereka juga diharapkan untuk dapat hidup mandiri oeh karena itu untuk bakal hidup, mereka diberikan pendidikan keterampilan dengan ketermpilan yang dimilikinya, mereka dapat hidup di lingkungan keluarga dan masyarakat serta dapat bersaing di dunia industri dan usaha.
5.      Fokastional Terapy (Terapi Bekerja)
         Selain diberikan latihan ketermpilan anak tunagrahita jug diberikan latihan kerja. Dengan bekal latihan yang telah dimilikinya, anak tunagrahita diharapkan dapat bekerja.


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Tunagrahita ialah istilah yang digunakan untuk anak yang memiliki perkembangan intelegensi yang terlambat. Tujuan pendidikan anak tunagrahita, seperti yang diungkapkan oleh Kirk (1986) yaitu dapat mengembangkan potensi dengan sebaik-baiknya, dapat menolong diri, berdiri sendiri dan berguna bagi masyarakat, dan memiliki kehidupan lahir batin yang layak.
Ada beberapa pendidikan dan layanan khusus yang disediakan untuk anak tunagrahita, yaitu kelas transisi, sekolah khusus (SLB bagian C dan C 1/SLB – C, C 1), pendidikan terpadu, sekolah di rumah, pendidikan inklusif, dan panti (griya) rehabilitasi. Layanan pendidikan yang diberikan kepada anak tunagrahita juga memiliki ciri khusus dan prinsip khusus agar perkembangan meningkat.
Ada beberapa strategi pembelajaran yang dapat digunakan untuk anak tunagrahita antara lain, strategi pembelajaran yang diindividualisasikan, kooperatif, dan modifikasi tingkah laku. Begitupula untuk media pembelajaran yang digunakan untuk anak tunagrahita tidak jauh berbeda dengan anak normal, hanya saja pendidikan anak tunagrahita membutuhkan media seperti alat bantu belajar yang lebih banyak, meningat keterbatasan kecerdasan intelektualnya. Evaluasi belajar anak tunagrahita dapat diukur melalui waktu mengadakan evaluasi, alat evaluasi yang digunakan, kriteria keberhasilan, pencatatan hasil evaluasi.


B.     Saran
Dalam sistem pendidikan saat ini, banyak terdapat sekolah inklusi dimana layanan pendidikan khusus dan reguler dalam suatu sistem persekolahan digabungkan. Dengan begitu kita sebagai guru sudah seharusnya mempelajari bagaimana cara menangani anak berkebutuhan khusus, salah satunya anak tunagrahita agar dapat menegmbangkan potensi anak tersebut menjadi lebih baik. Jadi, tidak hanya normal saja yang dapat kita kembangkan potensinya.



Daftar Pustaka

Abdurrahman, Mulyono dan Sudjadi.1994. Pendidikan Luar Biasa Umum. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Proyek Pendidikan Tenaga Akademik.
Adil, Nasrun. 1994. Hubungan Kemampuan Berbicara dengan Penyesuaian Sosial Anak Tungrahita Ringan. Medan: Institut Keguruan dan Ilmu Pengetahuan.
A.K., Mudjito, dkk. 2012. Pendidikan Inklusif. Jakarta: Baduose Media.
Kirk dan Gallagher. 1986. Educating Exceptional Children. Boston: Houghton Mifflin Company.
Moh.  Amin.  (1995).  Ortopedagogik  Anak  Tunagrahita.  Jakarta:  Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Suhaeri H.N. (1980). Ortopedagogik Umum 1 dan 2. Diktat Kuliah. Bandung:
PLB FIP IKIP.



Comments

Popular posts from this blog

APRESIASI SENI LUKIS SESUAI PRINSIP-PRINSIP SENI RUPA

MAKALAH PERKEMBANGBIAKAN MAKHLUK HIDUP

Keunggulan dan Kelemahan Media LKS